Minggu, 24 September 2017

Experience in Pekalongan



My first experience in Pekalongan, is the hometown of my bestfriend, Eva. I was there when the semester break holiday just for one week. While in there I visited various kinds of nature tourism, like Bidadari waterfall, Guci of hot water baths in Tegal, Sand Beach Kencana, Kleta, Gemek, and many more. But i just want to tell about Bidadari waterfall and Sand Beach Kencana. Here we go..

First about Bidadari waterfall, Geographically and administratively this waterfall is included in the area of Pekalongan, precisely in the village Purbo Jolotigo, Talun district, Pekalongan. Bidadari waterfall is located about 850 meters above sea level (mdpl) is indeed located in the forestry area. The location is about 30 minutes from Kajen or 60 minutes from Pekalongan City. There is no public transportation to get there. For those of you who are interested there, you should ride a private vehicle or used motorcycle because it is easier, and faster to get there. Don’t worry about getting lost because of the many signs posted in every corner of the village as directions. and I also use GPS.

Track to waterfall across the mountains, during the trip is very cold and the view is beautiful because surrounded by many tall and dense trees as it passes through the forest and the road is always uphill.

Arriving at the signpost of Bidadari waterfall we do not directly reach the destination, from the signpost to the parking place is quite to far, we still have to keep walking around the street that rigged by many pine trees and the distinctive voice of the forest animals.

when we get parked we are greeted with the guard of the sights and pay the ticket, I forget how much the ticket price. Not expensive, really cheap like not until Rp. 20.000 and that’s for 2 person included parking ticket. Along the path to Bidadari waterfall vegetation is dominated by plantations, such as rubber, cloves, coffee and bamboo. the road is very steep and difficult, full of stairs takes about 20-30 minutes by walk to the waterfall. but after arriving at the destination the place is very nice.

we are immediately traeated to the flow of the river that the water is very clear, look greenish and natural. There is a lot of rocks and cliffs. I got there around 3 pm and this place closed at 5 pm. only me and my bestfriend who are in there, just we are who swimming there for that time, very quiet. But even though there were two guard men in there. The water is very cold, from the waterfall directly, too bad the water is not too high because I be there during the dry season. Although it looks shallow but it’s deep enough to swimming. nice place to chill.

Advantages from this place :


* The water is very clear, and cold but that is not too frozen, so bathing here is guaranteed very refreshing.

* The location is outlying place, so nature.

* New tourist attraction, automatic yet everyone has come here, guaranteed to have pride when visiting this tourist spot, and according to info, withdrawal entrance and new parking area opened about a month ago, before if the motor was parked without guard.

* The price of admission is relatively cheap, and the guard is good, automatic we do not need to worry anymore when leaving our motorcycle. Because these attractions are still managed by local residents.

* Rental tires as a relatively cheap float, Rp 5000 / pcs without time limit.

* Clear paths and lots of road signs, so do not be afraid to get lost in the forest.


Deficiency :


* Remote location and no public transport, so to here must use a private vehicle. Create a backpacker who usually travel by public transport, may need motorcycle.

* Track to waterfall across the mountains, automatically requires energy. It takes a fit body condition.

* Lack of facilities, because the location of this tour is still new so do not expect there are adequate facilities, such as toilets, bathroom rinse and change of clothes, bins, saung for shade, border / lane guard, all that is still limited and less good.

* There are no permanent food stalls at the point of tourist location, so to anticipate the hungry stomach when after swimming, visitors must bring their own food supplies.



The stairs to waterfall

1

2

3

4

And Then many days later after that, me and my bestfriend went to Sand Beach Kencana, I twice went there. the place is so nice, and it does not cost anything to visit there, no ticketing, it’s free. And Around the beach so many residents and their house who open food stalls and drink and place to rinse water if anyone wants to swim in the beach. I am quite happy to play on that beach, not disappointing, nice to play sand and relax, good to make and take nice pictures and the palce is near from Kedungwuni my friend's house just about 30-40 minutes drive a motorcycle. I Recommended this place to try even though not really special or something like amazing but at least this place it’s free and you can play in there whenever you want


Advantages from this place :


* The location is easy to catch

* There are food stalls, or to anticipate the hungry visitors can bring their own food supplies.

* Free, no ticketing at all. Untill the parking too.


Deficiency :

* There many trash and stuff in the around beach

* less trash can, need more trash can


the first day

the second day


Rabu, 03 Mei 2017

CERITA SUKSES PENGUSAHA BESAR



Cerita Sukses Pengusaha Muda – Rangga Umara














Sebelum di-PHK dari jabatan manajer di sebuah perusahaan, Rangga Umara (31) memilih jualan pecel lele di pinggir jalan. Modal cekak membuat ia terjerat hutang renternir. Bagaimana jatuh-bangun Rangga membangun usaha bisnis RM Pecel Lele Lela? simak kisahnya.

”Selamat Pagi!” Begitu sapaan khas di RM Lele Lela, begitu Anda masuk ke sana. Tak peduli Anda datang pada pagi, siang, sore, atau malam, tetap disambut dengan ucapan, “Selamat pagi!”

Begitulah aku “mendoktrin” stafku dalam menyambut tamu di rumah makan Lele Lela milikku. Hal itu kulakukan agar para karyawan termotivasi dan produk yang disediakan selalu segar seperti segarnya suasana pagi hari.

Lela bukanlah nama istri atau anak-anakku, melainkan singkatan dari Lebih Laku. Oh, ya, kenalkan, namaku Rangga Umara. Meski usiaku tergolong muda, 31 tahun, pahit getirnya membangun usaha sudah kurasakan sejak bertahun-tahun lalu, sebelum akhirnya RM Pecel Lele Lela dikenal luas. RM ini kudirikan sejak Desember 2006. Bolehlah kini dibilang sukses. Sebab, aku telah melewati masa – masa sulit. Karena itu, aku lebih bisa menghargai jerih payahku, menghargai hidup dan orang lain.

Profesi yang kugeluti ini bisa dibilang melenceng dari pekerjaan bapakku, Deddy Hasanudin, seorang ustaz dan ibuku, Tintin Martini, pegawai negeri yang sebentar lagi bakal memasuki masa pensiun.

Dulu, cita-citaku memang menjadi pengusaha. Namun, entah kenapa akhirnya aku kuliah di sebuah perguruan tinggi di Bandung Jurusan Manajemen Informatika. Ilmu akademis ini mengantarku bekerja di sebuah perusahaan pengembang di Bekasi sebagai marketing communication manager di perusahaan itu.

Sayang, setelah hampir lima tahun bekerja, kuketahui kondisi perusahaan sedang tidak sehat. Hal itu membuat banyak karyawan di-PHK. Saat itulah aku tersadar, aku tinggal menunggu giliran. Karena itu aku mulai memikirkan lebih serius soal rencana hidupku berikutnya. Yang jelas, saat itu yang terpikir olehku, tak ingin lagi menjadi karyawan kantoran karena sewaktu-waktu bisa menghadapi masalah PHK lagi.



Nekat Wira¬usaha


Akhirnya, aku bertekad ingin membuka usaha sendiri. Sayangnya aku bingung mau berbisnis apa. Sebelumnya, aku pernah membuka beberapa usaha kecil-kecilan, antara lain penyewaan komputer, tapi bisnisku selalu gagal. Setelah kupikir-pikir, kuputuskan membuka usaha di bidang kuliner. Alasannya sederhana saja, aku suka sekali makan.

Aku memilih membuka warung seafood seperti yang banyak ditemukan di kaki lima. Modalku hanya Rp 3 juta. Uang itu kuperoleh dari hasil menjual barang-barang pribadiku ke teman-teman, antara lain telepon genggam, parfum, dan jam tangan. Sampai sekarang, barang-barang itu masih disimpan mereka, katanya buat kenang-kenangan. Istriku, Siti Umairoh yang seumur denganku, mendukung keputusanku.

Awalnya, ia pikir aku hanya berbisnis sampingan saja seperti sebelumnya, karena aku mulai berjualan sebelum mengundurkan diri dari perusahaan. Ia kaget ketika aku benar-benar menekuni bisnis ini, meski tetap saja ia mendukung.

Yang keberatan justru orang tuaku. Mungkin mereka khawatir memikirkan masa depan anaknya yang jadi tidak jelas. Maklum aku yang sebelumnya kerja kantoran dengan berbaju rapi, malah jadi terkesan luntang-lantung tidak jelas.

Warung semi permanen berukuran 2×2 meter persegi ku dirikan di daerah Pondok Kelapa. Lantaran modal pas-pasan, aku mencari yang sewanya cukup murah, sekitar Rp 250 ribu per bulan. Aku mempekerjakan tiga orang, dua di antaranya adalah suami-istri. Berbeda dari warung seafood di kaki lima yang umumnya bertenda biru dan berspanduk putih, warungku kudesain unik.

Ternyata, desain unik tak membantu penjualan. Tiga bulan pertama, hasil penjualan selalu minus. Tak satu pun pembeli datang. Aku mencoba berbesar hati, mungkin warungku sepi lantaran banyak yang tidak tahu keberadaan warung tendaku itu. Aku mulai melirik lokasi lain yang lebih ramai. Kutawarkan sistem kerjasama dengan rumah makan dan warung lain, tapi selalu ditolak.

Sampai suatu hari, aku mendatangi sebuah rumah makan semi permanen di kawasan tempat makan, masih di kawasan Pondok Kelapa. Seperti yang lain, pemilik rumah makan ini juga menolak tawaran kerjasamaku. Ia justru menawariku membeli peralatan rumah makannya yang hendak ia tutup lantaran sepi pembeli. Aku menolak, karena tak punya uang. Akhirnya, ia menawarkan sewa tempat seharga Rp 1 juta per bulan. Aku pun setuju.


Mirip Pisang Goreng

Bulan pertama buka usaha, mulai tampak hasilnya. Pembeli mulai berdatangan. Aku tahu, usaha yang bisa sukses dan bertahan adalah usaha yang punya spesialisasi. Kuputuskan untuk berjualan pecel lele, makanan favoritku sejak kuliah. Ya, semasa kuliah dulu, aku rajin berburu warung pecel lele yang enak. Kupikir, orang yang khusus berjualan makanan dari lele belum ada.

Lagi-lagi, nasib baik belum sepenuhnya berpihak kepadaku. Begitu aku berjualan lele, yang laku justru ayam. Kalau menu ayam habis, pembeli langsung memilih pulang. Namun, aku tak mau menyerah. Karena aku tahu lele itu enak. Jadi, ketika para pembeli duduk menikmati hidangan, aku berkeliling meja, minta mereka mencicipi lele hasil masakan kami. Syukurlah, mereka berpendapat masakannya enak.

Dari situ, aku berusaha lebih giat untuk memperkenalkan masakan lele. Aku berusaha menonjolkan kelebihan lele yang terletak pada dagingnya yang lembut dan gurih. Untuk menutupi kekurangan tampilan fisik lele yang mungkin kurang menarik, lelenya aku baluri tepung lalu digoreng. Hasilnya? Gagal total!

Kuamati lele berbalur tepung itu. He..he..he.. ternyata memang mirip pisang goreng. Aku pantang menyerah. Kucoba lagi menggoreng lele dengan tepung. Kali ini, digoreng dengan telur dan melalui beberapa kali proses. Alhamdulillah, sukses! Pembeli makin suka makan lele olahan kami. Pelangganku yang suka makan ayam, mulai beralih ke lele tepung.

Setelah tiga bulan pindah ke tempat baru itu, pendapatan rumah makanku meningkat menjadi Rp 3 juta per bulan. Aku sangat bersyukur. Dari situ aku berpikir untuk lebih total menekuni bisnis ini. Apalagi bila dibandingkan dengan penghasilanku sebagai karyawan kantoran yang cuma “tiga koma”. Maksudnya, setelah tanggal tiga, lalu “koma” Ha… ha.. ha…


Terjebak Rentenir


Tahu usahaku laris, pemilik rumah makan menaikkan biaya sewa jadi dua kali lipat, yaitu Rp 2 juta per bulan. Aku mulai merasa seolah-olah bekerja untuk orang lain karena hasil yang kuraih hanya untuk membayar sewa tempat.

Masalah bertambah lagi karena aku juga harus memikirkan gaji karyawan. Kuputar otakku guna mendapatkan uang untuk membayar gaji karyawan. Aku sudah mantap tidak akan kerja kantoran lagi. Sebab ada tiga orang karyawan yang menggantungkan nasibnya padaku.

Aku mencoba tetap bertahan, walaupun pendapatanku masih minus. Saking pusingnya, di awal 2007 aku nekat berhutang pada seorang rentenir sebesar Rp 5 juta, sekadar untuk menggaji karyawan. Aku berprinsip, dalam kondisi seperti apa pun, karyawan tetap harus diprioritaskan.

Setelah berkali-kali jatuh bangun merintis Pecel Lele Lela, akhirnya Rangga mulai mereguk manisnya madu berbisnis kuliner. Usahanya kian menanjak, terutama setelah banyak orang tertarik menjadi pewaralaba Pecel Lele Lela.

Syukurlah, masalah demi masalah yang menimpa usahaku satu per satu berhasil kulalui. Selain pantang menyerah setiap kali bertemu masalah, aku juga tak ingin terfokus pada masalah yang sedang kuhadapi. Aku lebih suka mencari peluang untuk membuka jalan keluar. Bukannya lari dari masalah, lho. Cara seperti ini justru membuatku terus berpikir optimis dan semangat mencari solusi terbaik.

Berkat lele goreng tepung andalan, rumah makanku semakin ramai pengunjung. Pecinta lele dari berbagai kawasan datang ke rumah makanku di Pondok Kelapa untuk menikmatinya. Senang rasanya melihat perubahan positif ini, terutama bila mengingat bulan-bulan pertama yang sepi pembeli. Ini membuatku makin bersemangat mengajak kerjasama dengan lebih banyak orang lagi.

Sehingga, akhirnya aku bisa segera pindah dari tempat makan pertama yang kusewa seharga Rp 2 juta per bulan. Menu lele yang disediakan pun makin beragam, antara lain lele goreng tepung, lele fillet kremes, dan lele saus padang. Tiga menu inilah yang jadi andalan kami, bahkan jadi favorit pembeli hingga kini.

Namun, di balik kesuksesanku, cobaan kembali menimpa. Salah satu kokiku berhenti bekerja. Belakangan, aku tahu ternyata ia membuka usaha sejenis sepertiku. Apakah aku marah? Tidak. Aku justru kecewa mengapa ia tak memberitahuku sejak awal. Kalau saja tahu, aku pasti akan mendukungnya. Tak bisa kita berharap orang akan seterusnya loyal bekerja pada kita. Aku senang, kok, melihat orang lain maju.

Aku juga senang bila usahaku bisa menginspirasi dan bermanfaat bagi orang lain. Bagiku, rezeki sudah ada yang mengatur. Bahkan ketika saat ini banyak orang berbisnis kuliner lele sepertiku, aku tak menganggap mereka sebagai ancaman. Ini justru memotivasiku untuk terus berusaha lebih baik. Namun, tak urung aku kelimpungan dengan mundurnya sang koki. Apalagi, saat itu rumah makanku mulai ramai.Istriku kini juga ikut membantu mengembangkan usahaku.


Buka Waralaba


Berkat kerja keras para karyawan, rumah makanku tetap bisa berjalan seperti biasa. Suatu hari, dalam perjalanan pulang ke rumah orangtuaku di Bandung, aku mampir ke sebuah restoran cepat saji asal Amerika. Di situlah aku bertemu Bambang, teman lamaku saat SMA. Dulu, kami sering main basket bareng. Rupanya, Bambang bekerja di restoran itu sebagai manajer.

Aku lalu bercerita, aku sudah punya rumah makan dan mempersilakannya untuk mampir bila ada waktu. Tak disangka, beberapa minggu kemudian ia datang berkunjung ke rumah makanku yang sebetulnya lokasinya sangat jauh dari tempat kerjanya.

Dari situlah kami banyak mengobrol soal bisnis rumah makan. Aku juga curhat soal kebingunganku sebelumnya ketika ditinggal koki. Bambang lalu banyak memberi masukan, bagaimana mengelola sebuah rumah makan. Tertarik dengan saran-sarannya, akhirnya aku menjadikannya sebagai konsultan, meski kecil-kecilan.

Sebagai honornya, aku mengganti uang bensinnya. Ia membantuku membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) menjalankan rumah makan. Dengan cara seperti ini, aku tak lagi kelimpungan bila ditinggal koki. Bambang juga melatih para karyawan sehingga mereka bekerja lebih profesional, sesuai SOP.

Peran Bambang memang cukup besar. Rupanya, ia menaruh perhatian pada rumah makanku ini, sehingga akhirnya ia berhenti bekerja dari tempatnya bekerja dan pindah kerja padaku. Bahkan, temannya banyak yang mengikuti jejaknya. Kini, Bambang jadi General Manager untuk Pecel Lele Lela.

Syukurlah, dengan adanya SOP ini, usahaku jadi makin berkembang. Aku bisa membuka cabang lagi. Istriku juga ikut membantu usahaku. Bahkan, atas permintaan banyak orang, sejak 2009 Pecel Lele Lela mulai kuwaralabakan. Sebenarnya, aku tak punya rencana untuk mewaralabakannya. Namun, para peminat justru mendukungku untuk melakukannya.

Usahaku tak sia-sia, tahun lalu aku mendapat penghargaan dari Menteri UKM.


Raih Penghargaan

Banyaknya permintaan bisnis waralaba, membuatku akhirnya tak bisa menolak untuk mewaralabakan Pecel Lele Lela. Ya, hitung-hitung lebih memperkenalkan rumah makanku kepada lebih banyak orang sekaligus bagi-bagi rezeki. Meski awalnya permintaan waralaba hanya berasal dari Jabodetabek, kini mulai merambah ke daerah. Di antaranya, Bandung, Yogyakarta, Karawang, dan Purwokerto.

Beberapa cabang lagi akan dibuka dalam waktu dekat, di Medan dan beberapa kota lain. Bahkan, sudah ada permintaan waralaba dari orang-orang Indonesia yang tinggal di Jeddah, Penang, Kuala Lumpur, dan Singapura. Rencananya, cabang-cabang di luar negeri akan direalisasikan tahun ini. Alhamdulillah, kini Pecel Lele Lela telah memiliki 27 cabang, 3 di antaranya adalah milikku sendiri.

Nama Lela sendiri sebenarnya bukan nama istriku atau anak-anakku. Kedua anakku laki-laki, Razan Muhammad (2,5) dan Ghanny Adzra Umara (1,5). Lela hanyalah sebuah singkatan, yaitu Lebih Laku. Ini sekaligus menjadi doa buatku, agar usahaku makin lancar. Alhamdulillah, Ramadan lalu Pecel Lele Lela ikut mengisi menu acara buka bersama yang diadakan Presiden SBY di Istana Negara, yang dihadiri para menteri dan duta dari negara sahabat.

Selain itu, tahun lalu aku juga menerima penghargaan dari Menteri Perikanan dan Kelautan karena usahaku dinilai paling inovatif dalam mengenalkan dan mengangkat citra lele dengan menciptakan makanan kreatif sekaligus mendorong peningkatan konsumsi ikan. Penghargaan lain yang juga kuraih, Indonesian Small and Medium Business Entrepreneur Award (ISMBEA) 2010 dari Menteri Usaha Kecil dan Menengah.

Dua penghargaan ini makin memotivasi diriku untuk lebih bekerja giat sekaligus senang karena usahaku membuat lele jadi menu modern ternyata tak sia-sia. Kini, selain sibuk mengembangkan Pecel Lele Lela, aku juga kerap diundang jadi pembicara di berbagai seminar, termasuk di kampus-kampus di seluruh Indonesia. Senang rasanya berbagi ilmu, agar mereka kelak bisa menciptakan lapangan kerja sendiri.

Mentraktir karyawan makan di restoran lain jadi salah satu caraku menghargai hasil kerja mereka.


Gratis Makan


Cita-citaku untuk jadi pengusaha kini tercapai sudah. Asal tahu saja, dulu aku pernah bermimpi punya rumah makan dengan konsep seperti restoran cepat saji terkenal. Kini, pelan-pelan mimpi itu mulai terwujud. Aku sendiri tak pernah membayangkan usahaku akan sesukses ini. Banyak orang bilang, kesuksesanku terbilang cepat datangnya.

Aku sangat bersyukur, kini omzet seluruh cabang mencapai Rp 1,8 miliar per bulan, mengingat dulu aku punya banyak rasa takut untuk memulai. Sampai kini, aku masih memegang keyakinan, jika kita mau fokus dalam melangkah, pasti akan sukses.

Prinsipku yang lain sejak memulai usaha adalah selalu mengawali sesuatu dengan akhir yang positif. Maksudnya, aku selalu memikirkan bagaimana nanti kalau usahaku sukses, bukan sebaliknya. Dengan demikian, aku selalu optimis.

Inovasi juga harus jadi kebiasaan, selain terus meningkatkan kualitas dan pencitraan Pecel Lele Lela. Itu sebabnya, kini aku sedang menggodok konsep baru untuk jangka panjang. Diversifikasi menu dan pencitraan Pecel Lele Lela sendiri juga semakin kupikirkan.

Kini, ada banyak pilihan menu lele di Pecel Lele Lela. Untuk menarik hati pembeli, Pecel Lele Lela juga menggratiskan hidangannya bagi pembeli yang berulang tahun di hari kedatangannya. Dan, pembeli bernama Lela juga akan mendapat keistimewaan berupa makan gratis seumur hidup. Menarik, bukan?

Namun, kesuksesan yang kuraih bukan semata-mata kematangan konsep dan kelezatan menu saja, lho. Para karyawan juga punya andil besar. Itu sebabnya, penting bagiku membuat mereka betah dan bekerja dengan hati.

Sebagai penghargaan, tak jarang mereka kutraktir makan di restoran lain. Jika hati senang, mereka juga pasti akan bekerja dengan semangat. Oh ya, soal logo Pecel Lele Lela yang sempat diprotes kedai kopi asal Amerika karena dianggap mirip, juga sudah kuganti sejak membuka cabang ke-16. Doakan aku makin sukses, ya!


Sumber : http://profilpengusahasuksesindonesia.blogspot.com/2012/11/cerita-sukses-pengusaha-mudarangga.html

Jumat, 21 April 2017

ENTREPRENEUR

NAMA : NANDA PUTRI AYU LESTARI , NPM : 14615974, KELAS : 2SA02


Siapa sosok entrepreneur yang menginspirasi saya untuk menjadi seorang entrepreneur? 
Dia adalah Yasa Singgih. Karena latar belakang kehidupannya hampir sama dengan saya, dia lahir pada bulan april sama seperti saya, dia pun juga tinggal di Bekasi sama dengan saya. Terlahir di keluarga yang biasa-biasa saja, dan sama-sama sebagai anak bungsu di keluarga. Dan memiliki satu motivasi yang sama untuk untuk menjadi mandiri dalam hidup supaya bisa membahagiakan orang tua sebelum terlambat. Dia pun juga pernah berbisnis lampu hias, sama seperti saya. Walapun saya berbisnis lampu hias itu tidak sendiri tetapi menjalaninya bersama teman saya, untung yang dihasilkan dari bisnis itu pun juga sangat lumayan,tidak sedikit. Dan bisnis yang saya inginan itu sangat beragam, dari ingin memiliki restaurant sendiri, cafe, memiliki toko untuk jasa FotoCopy-an didaerah kampus atau sekolah, ingin punya bisnis kost-kostan atau kontrakan didaerah padat penduduk atau pada mahasiswa. Ingin punya toko baju Distro dengan merek buatan sendiri. Semoga segalanya dapat terjadi dan terkabul di kemudian hari, amin.

Profil Yasa Singgih
Never too young to become a billionaire! Inilah prinsip hidup Yasa, anak muda yang lahir dengan nama lengkap Yasa Paramita Singgih pada tanggal 23 April 1995 di Kota Bekasi. Terlahir di keluarga yang biasa-biasa saja, membuat Yasa memutuskan untuk hidup mandiri dengan berbisnis.
Keputusan itu hadir dikarenakan saat usia 15 tahun, Ayahnya terkena serangan jantung sehingga harus dioperasi. Sebagai anak paling kecil ia merasa menjadi beban terakhir keluarga, dan kejadian itulah yang menjadi titik balik hidup Yasa untuk menjadi mandiri dalam hidup supaya bisa membahagiakan orang tuanya sebelum terlambat.
Sejak berusia 15 tahun ia sudah mulai mencari uang sendiri dengan menjadi MC di berbagai acara Sweet 17 & musik. Di usia yang sama ia juga mulai berjualan lampu hias secara online, namun tak lama kemudian usaha lampu hiasnya tutup lantaran supplier tidak dapat memberikan barang lagi.
Alhasil pada usia 16 tahun Yasa banting setir ke usaha fashion. Sempat beberapa kali gagal di beberapa bisnis dan diremehkan banyak orang, akhirnya dia berhasil membangun brand fashion dengan nama Mens Republic.
Dua tahun berhasil mengembangkan brand Men’s Republic ia pun berhasil meraih beberapa impiannya. Perjalanan bisnis nya tidak semulus banyak orang kira, ia pernah mengalami rugi ratusan juta rupiah dalam berbisnis, mulai dari bisnis kuliner, EO, dll pernah menjadi pelajaran berharga untuknya.
Selain itu, sekarang ia juga memiliki bisnis di bidang asset yaitu komplek perumahan dalam bentuk kavling tanah di Bogor dan menghandle bisnis management consulting bernama MS Consulting.
Di usia 18 tahun, Yasa bisa membayar uang kuliahnya di Universitas Bina Nusantara dengan hasil keringatnya sendiri. Ia juga sering memberikan sharing seputar bisnis, motivasi dan pengembangan diri.
Dalam sharing yang bawakan Yasa, ia terkenal selalu memiliki pembawaan yang santai, humoris namun sangat menyentuh hati.
Sampai dengan sekarang ia masih sering kali gagal, gagal dan gagal dalam setiap hal yang ia lakukan, karena ia percaya bahwa gagal = belajar.
When you stop learning, you stop growing. Keep FIGHT!
Di usianya yang baru 18 tahun ia sudah mendapatkan beberapa penghargaan dari berbagai komunitas seperti: 10 Pengusaha Muda Sukses versi YukBisnis.com, 5 Entrepreneur Muda Tergila versi Lintas.Me, 5 Wirausaha Muda Sukses versi SenengMedia.com, Narasumber Kementerian Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia
Sampai dengan sekarang, Yasa telah diliput & diundang :
Kementerian Kelautan & Perikanan RI, Redaksi Siang Trans TV, Kompas TV, Sarah Sechan Show Net TV, Tempo Radio dan TV, 150 radio jaringan di Indonesia. Jargonnya yang terkenal adalah “Never too young to to become a Billionaire!”